Perlahan-lahan ku buka kedua mataku. Cahaya suram kini berubah menjadi sinar terang. Kulihat semua serba putih. Beberapa orang berseragam putih-putih sesekali berlalu di depan ruanganku. Aku sadar bahwa aku sedang di rumah sakit. Lalu kualihkan pandanganku ke meja kecil di sebelah tempat tidurku. Tampa seuntai liontin yang berbentuk hati yang terbagi dua. Lalu, tiba-tiba aku terkenang pada suatu hal.
Saat itu kemarau melanda desaku. Tanah yang biasanya menghijau menjadi kering kerontang. Seolah-olah matahari telah menguras habis air dari dalam tanah. Dan sawah yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami tak bisa lagi digunakan. Ayahku, yang umurnya sudah menjelang senja tak sanggup untuk bekerja kasar seperti orang-orang desa lain. Dan satu-satunya keahliannya hanyalah bercocok tanam.
Akhirnya sebagai anak laki-laki tertua aku memutuskan untuk merantau ke kota. Aku tidak sanggup terus-terusan melihat keluargaku menderita. Aku juga tak mau terus-terusan menyusahkan ayah. Dengan bekal seadanya dan memang hanya itu yang kami punya, aku nekat pergi ke kota. Berbekal ijazah SMP aku berusaha mengubah nasib keluargaku. Walaupun aku harus meninggalkan Ratih pacarku.
Ternyata apa yang aku bayangkan selama ini tentang kehidupan kota tak seperti pada kenyataannya. Aku pikir di kota akan hidup enak seperti apa yang aku saksikan di televisi. Tetapi, ternyata aku salah besar. Ternyata kehidupan di kota jauh lebih keras dan penuh persaingan. Hari pertama saja uang sanguku habis diambil preman-preman jalanan. Jadi, hari itu aku puasa.
Keesokan harinya aku ke pasar. Kupikir barang kali akan ada orang yang membutuhkan bantuanku dan mau memberiku imbalan. Dan aku benar. Pagi itu aku menjadi kuli angkut pasar. Benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.
Siang harinya aku keliling kota dengan membawa ijazahku untuk melamar pekerjaan. Kantor demi kantor ku masuki, tapi tak ada satupun yang mau menerima lamaranku. Bahkan ada beberapa kantor yang tidak memperbolehkanku masuk.
Aku akhirnya putus asa. Dengan langkah lesu aku berjalan. Hingga tanpa kusadari ternyata aku berjalan bukan di trotoar lagi. Tiba-tiba, ada sebuah mobil yang menyerempetku. Aku terpelanting beberapa meter dengan beberapa luka di lutut dan sikuku. Mobil itu berhenti dan empunya pun keluar. Ternyata seorang wanita kira-kira berusia 35 tahun dengan dandanan yang sangat mencolok.
“ Aduh, maaf ya de tadi aku nggak liat,” katanya.
“ Nggak papa kok mbak, saya yang salah,” kataku dengan logat yang sangat kental. Tiba-tiba wajah perempuan itu berubah dari panik menjadi tersenyum mencurigakan.
“ Kamu luka ya de? Wah, ini harus diobatin.”
“ Ng..ng...nggak usah aja mbak.”
“ Nggak bisa de ini harus diobatin,” katanya sembari menarik tanganku dan aku tidak bisa lagi menolaknya.
Sesampai di rumahnya, setelah lukaku diobati wanita itu memintaku untuk menceritakan tentang asal usulku. Aku pun bercerita pajang lebar mengapa aku sampai ke kota.
“ Aku punya kerjaan gampang tapi gajinya gede, mau nggak?” kata wanita itu.
“ Kerjaan apa mbak?” tanyaku.
Lalu dia membisikkan sesuatu ke telingaku. Butuh waktu yang cukup untuk akhirnya aku menyetujuinya. Walau ada perasaan yang tidak nyaman dalam hatiku.
Keesokan harinya aku diajaknya untuk menemui seseorang. Pada orang itulah aku bekerja. Seorang wanita juga yang umurnya hampir sama dengan wanita yang menyerempetku itu.
Setelah setahun aku di kota dan merasa sudah mendapatkan penghasilan yang cukup, aku memutuskan untuk pulang kampung. Tak lupa aku membelikan oleh-oleh untuk Ratihku tersayang. Sepasang liontin berbentuk hati yang dapat disatukan. Aku memberikannya satu untuknya dan satu untuk ku pakai sendiri.
Setelah beberapa hari di kampung, aku jatuh sakit. Namun Ratih belum mengetahuinya. Karena, penyakitku tak kunjung sembuh akhirnya ayahku membawaku ke rumah sakit. Saat di rumah sakit itulah kata ayahku Ratih datang. Dia datang dengan wajah panik dan langsung bertanya kepada ayahku tentang penyakitku. Dan dengan berat hati akhirnya ayahku memberitahunya bahwa aku terinfeksi HIV.
Mendengar hal itu air matanya runtuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Lalu, ia melepaskan liontin yang kuberikan dan lalu pergi. Aku tahu, ia menangis bukan karena aku terkena HIV, tetapi karena aku tidak menjaga kepercayaan yang diberikannya padaku.
Tiba-tiba aku tesadar dari lamunanku. Kulihat wajah ayahku yang penuh dengan kerutan tampak sedih. Lalu, tangannya yang kasar namun hangat itu menggenggam tanganku.
“ Maafin aku ya, Yah. Aku bukannya bantuin tapi malah nyusahin Ayah,” kataku.
“ Udah, nggak papa. Yang penting sekarang harus lebih rajin beribadah dan banyak mohon ampun sama Allah.”
“ Iya Yah.”